Selasa, 20 Maret 2012

RAHMATAN LIL ‘AALAMIIN

oleh Mang Isur



Aku tinggalkan ditengah-tengah kalian dua perkara. Selama kalian berpegang teguh dengan keduanya tidak akan tersesat selama-lamanya, yaitu Kitabullah (al-Qur’an) dan Sunnahku (hadits).”
(HR. Malik, derajat hadits ini hasan)


Suatu ketika di tanah Madinah. Matahari berangsur kian meninggi, sementara pintu rumah Rasulullah saw. Masih tertutup rapat. Di dalamnya Rasulullah saw. Sedang terbaring lemah ditemani  oleh puteri tercinta, Fatimah. Keningnya berkeringat membasahi pelepah kurma yang menjadi alas tidurnya. Tiba-tiba dari luar pintu terdengar seseorang mengucap salam. “Bolehkah saya masuk?” Fatimah r.a. tidak mengizinkan, “Maaf, ayahku sedang sakit.” Lalu ditutupnya pintu. Ketika kembali menemani ayahnya, ternyata beliau mengetahui dan bertanya, “Siapakah itu wahai putriku?” “Aku tak tahu ayah, sepertinya baru kali ini aku melihatnya.” Tutur Fatimah. Mendengar jawaban puterinya, Rasulullah saw. menatapnya denngan pandangan penuh kasih dan menggetarkan hati, seraya berkata, “Ketahuilah wahai puteriku, dialah yang menghapus kenikmatan sementara, dialah yang memisahkan pertemuan di dunia. Dialah Izrail, malaikat maut.” Fatimah  r.a. menangkupkan kedua telapak tangan seraya menutup wajahnya dan menahan luapan tangis.
Malaikat maut menghampiri, namun Nabi saw. Bertanya mengapa Jibril tidak ikut serta. Lalu dipanggillah Jibril yang sudah siap di langit dunia menyambut ruh kekasih Allah. “Jibril, jelaskan apa hakku nanti di hadapan Allah?” Tanya Rasulullah saw. Dengan suara amat lemah. “Pintu-pintu langit telah terbuka lebar menanti kedatanganmu.” Jawab Jibril. Tapi jawaban itu tidak membuat Rasulullah saw. lega.  Pandangannya menatap cemas. “Wahai kekasih Allah, tidakkah engkau senang mendengar kabar ini?” Tanya Jibril.
“Kabar kepadaku, bagaimana nasib umatkku kelak.”
“Jangan khawatir, wahai Rasul Allah, aku pernah mendengar Allah berfirman kepadaku, Ku haramkan surga bagi siapa saja kecuali umat Muhammad telah di dalamnya.” Jawab Jibril.
Detik-detik semakin dekat, saatnya Izrail melaksanakan tugasnya. Perlahan ruh Rasulullah saw. Ditarik sehingga tubuhnya bersimbah peluh dan urat lehernya menegang.
“Jibril, betapa sakitnya sakaratul maut ini.” Lirih Rasulullah menahan sakit. Fatimah memejam mata, Ali menunduk sedalam-dalamnya, Jibril memalingkan muka. “Jijikkah engkau melihat sehingga kau palingkan wajahmu, Jibril?”
“Siapa yang tega melihat kekasih Allah direnggut ajal?” ucap jibril.
Sesaat kemudian terdengar Rasulullah saw. Memekik karena sakit yang tak tertahankan. “Ya Allah, dahsyat nian maut ini, timpakan saja semua siksa maut ini kepadaku, jangan pada umatku.” Tubuh Rasulullah mulai dingin, kaki dan dada beliau sudah tak bergerak. Bibir beliau bergetar seakan hendak menyampaikan sesuatu. Ali segera mendekatkan telinga beliau. “uushikum bisshalaati, wa ma malakat aimanukum (peliharalah shalat  dan santuni orang-orang lemah diantaramu).”
Fatimah menutup tangan ke wajahnya sementara Ali kembali mendekatkan telinga ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan, “Uumatii, uumatii, uumatii.”
Sementara diluar para sahabat berpelukan dan menangis. Manusia agung mulia uyang mereka cintai telah kembali kepada Sang Kekasih. Umar ibnul Khaththab r.a. merasa belum juga menerima kenyataan itu. Diacungkan pedangnya sambil berteriak, “ Siapa yang mengatakan Rasulullah telah wafat akan ku bunuh!”
Namun dengan bijak Abu Bakar r.a. menyikapi, “Siapa yang menyembah Muhammad, sesungguhnya ia telah tiada, namun siapa menyembah Allah, maka Ia Mahakekal.”
Betapa tulus cinta Rasulullah saw. kepada kita. Di antara sakaratul maut beliau hanya kita yang diingat. Betapa tulus perjuangan dan pengorbanan Rasulullah saw., hanya berharap dapat memberi kebaikan kepada umat beliau.

***********

0 komentar:

Posting Komentar

newer post older post Home