Rabu, 14 Maret 2012

Hikayat Si Uyut

oleh Mang Isur 

 

Oleh GODI SUWARNA
SEBUAH kentongan kahot tersandar begitu santai di depan tabel alias pos ronda kampung kami. Si Uyut, begitulah kami menyebut kentongan itu. Olot Onah, orang tertua di kampung kami, tidak bisa mengatakan dengan pasti tahun berapa si Uyut dilahirkan ke dunia. Si Uyut ini berukuran sangat besar, kira-kira tiga deupa, dengan lingkar tengahnya sepelukan orang dewasa, terbuat dari galeuh nangka yang sangat kuat dan tahan rayap. Semakin tahun, Beliau semakin serupa dengan raja manten yang telah kehilangan dangiang-nya, tampak selalu lesu meskipun tubuhnya tetap mengkilap.
Pada masa-masa jayanya, si Uyut adalah kentongan kebanggaan kami. Suaranya yang sangat keras dan agem tidak tertandingi oleh kentongan manapun juga di desa kami. Tidak sembarang orang boleh nabeuh si Uyut. Hanya lurah, aparat desa, dan para peronda sajalah yang diperkenankan. Dengan beragam cara menabuhnya, yang masing-masing memiliki maksudnya sendiri-sendiri, si Uyut adalah satu-satunya penyebar berita penting untuk segenap warga kampung, bahkan kaemper-emper juga jauh ke kampung-kampung patarenggang di desa kami yang terpencil.
Di masa lalunya itu, entah sudah berapa kematian, kebakaran, longsor, banjir, gangguan keamanan, dan lain-lainnya lagi, yang telah diberitakan si Uyut. Belum lagi tugas rutinnya sebagai penanda waktu di senyap malam, berhubung tidak semua warga kampung memiliki jam tangan, weker, apalagi jam dinding. Juga kabar bencana bagi peronda, bila si Uyut dikurilingkeun. Artinya, aparat desa memanggil peronda yang belum hadir di tabel. Dampratan, lari keliling kampung, atau direndam di kolam adalah hukuman bagi peronda ynag mangkir dari tugasnya.
Konon, menurut kisah orang tua kami, si Uyut ini pernah berpindah tempat pada zaman revolusi, digotong beramai-ramai ke puncak bukit di ujung kampong, para pejuang biasa mempergunakan si Uyut untuk kepentingan mereka, menerima dan menyampaikan lagi berita berangkai. Hanya satu dua jenis pukulan saja yang dipahami oleh warga kampung, diantaranya adalah uaran bagi penduduk agar segera mengumpulkan nasi dan lauk-pauknya untuk para pejuang empat-lima itu yang konon selalu teramat gembul.
Bila si Uyut dititirkeun, itulah pertanda gawat darurat, bahwa pasukan Walanda sedang melongok-longok di sekitar desa kami. Lantas, segenap warga kampung pun terpontang-panting, terkadang bersama para pejuang bersembunyi di hutan hulucai yang angker.
Dengan dikawal oleh orang bersenjata, niscaya tentramlah batin penduduk di tempat persembunyiannya itu. Dan, apabila si Uyut telah mengumandangkan pertanda aman, warga kampung beserta para pejuang berbondong-bondong keluar dari tempat persembunyiannya, serupa sepasukan balatentara yang telah memenangkan sebuah peperangan besar.

PADA zaman gerombolan, banyak nian jasa si Uyut yang dirasakan oleh warga kampung kami. Hingga pada suatu malam, ketika si Uyut mengumandangkan pertanda aman, berduyun-duyunlah warga kampung keluar dari persembunyiannya dengan gembolan barang-barang berharganya. Sial dangkal, ternyata malam itu si Uyut dipukul oleh gerombolan yang teramat paham bahasa kentongan. Apa boleh buat, seluruh warga kampung serupa ikan masuk bubu, terpaksa menyerahkan barang-barang bawaannya. Maka, sejak saat itu, panakol si Uyut selalu dipusti-pusti serupa benda keramat, dan tabuhan pertanda aman selalu diganti-ganti sesuai kesepakatan.
Tatkala sepeker akhirnya masuk kampung juga, seiring baranang listrik di seantero pelosok desa. Maka, sedikit demi sedikit si Uyut pun kehilangan dangiang-nya. Sepeker yang semula dimaksudkan untuk memperkeras suara azan di masjid, akhirnya dimanfaatkan pula untuk menyampaikan segala macam berita. Berita-berita penting untuk keperluan umum atau kabar pribadi sejenis “Mang Udin diantos ku Bi Ijah di Warung Jambu” disebarkan oleh sepeker dengan lebih jelas dan keras.
Meskipun pada akhirnya Pak Kyai membatasi penggunaan sepeker dengan seketat-ketatnya, namun sebagian besar wibawa si Uyut telah terrenggut dan beralih pada benda canggih itu. Suara si Uyut yang dititirkeun hanya menjadi latar suasana ketir saja ketika sepeker mengabarkan berita kematian atau bencana. Berakhirlah tugas rutin si Uyut sebagai penanda waktu, lantaran inipun diambil alih oleh sepeker. Juga jam tangan, weker, malah jam dinding bukan lagi barang langka.
Dina hiji mangsa, anak-anak muda di kampung kami menemukan keasyikan tersendiri dengan sejenis barang baru yang disebut interkom. Inilah alat penerima atau penyebar berita yang lebih canggih ketimbang sepeker, apalagi si Uyut yang semakin terpuruk lesu. Pada zaman interkom inilah kampung kami berhiaskan rentangan kabel telanjang, menghubungkan rumah demi rumah, kampung demi kampung, bahkan merentang jauh ke desa-desa tetengga.
Siang-malam, anak-anak muda bergunjing tiada henti lewat benda yang kabelnya pakuranteng itu. Mungkin karena terlalu sering kasetrum, muda-mudi menjadi aneh tingkahnya. Kadang-kadang mereka lama menghilang. Kampung menjadi sepi. Lalu, tiba-tiba bergerombol di depan tabel, bertengkar habis-habisan karena berebut jalur atau apa, tak jarang diakhiri dengan pergulatan seru. Si Uyut pun pasti terkaget-kaget dibuatnya. Apalagi, konon, banyak perceraian dan kawin gurudug gara-gara barang yang mungkin saja bertegangan tinggi itu.


TAHUN berganti, zaman interkom lewatlah sudah. Lantas, si Uyut pun menjadi saksi nan bisu manakala anak-anak muda entragan baru yang sering nangkring serta bergunjing di tabel mulai asik dengan sejenis mainan baru, HP!
Pasti si Uyut bertanya-tanya, apa yang terjadi dengan anak-anak muda itu. Lantaran tabel yang semula riuh rendah oleh perbincangan tentang keajaiban cocooan baru itu bisa tiba-tiba menjadi sepi bak ditengah astana geledegan ketika mereka asyik sendiri-sendiri, melakukan kegiatan senam jempol, mengirim SMS entah kepada siapa, dan entah untuk urusan apa. Dan, bila pulsa licin tandas, banyak juga yang lantas murang-maring di rumahnya masing-masing, lebih garang daripada bagong yang paling garong.
Perkara HP ini sempat juga membuat kami ngembang kadu ketika menonton pergelaran wayang golek di halaman baledesa. Saat Ki Dalang sedang sibuk-sibuknya ngocoblak, ternyata tiga orang Nyai Sinden malah asyik bersenam jempol, memijit-mijit HP-nya masing-masing ber-SMS ria.
Akhirnya, pada suatu hari yang tak terlupakan, terjadilah keributan luar biasa di kampong kami. Si Uyut raib tak tentu rimba! Semula, kami tidak begitu sadar akan kehilangan ini, karena nyaris tiada lagi orang yang memperhatikan Beliau. Setelah Olot Onah, orang tertua di kampung kami, walahwah-weuleuhweuh bagai orang kesurupan, barulah kami sejadi-jadinya ribut. Kapan, kenapa, dan kemana si Uyut pergi, itulah yang membuat kami bingung bukan kepalang.
Berbagai komentar segera saling bersilang. Ada yang berpendapat bahwa si Uyut dicuri oleh supir truk, kenek, dan beberapa orang kawannya, yang mobilnya mogok di depan tabel tiga malam yang lalu. Ada juga yang teramat yakin bahwa Beliau ngahiang, karena malam sebelumnya terlihat seberkas sinar benderang yang melesat dari bubungan tabel. Sedangkan bisik-bisik menyatakan, si Uyut telah dijual oleh anak-anak muda yang paling badeur di kampung kami, hasilnya dipergunakan untuk membeli pulsa. Tak pernah jelas.
Sejak kejadian itu, beberapa orang tua di kampung kami selalu tampak murung, linglung, dan bingung!***
TAMAT

Diambil dari  HARIAN UMUM PIKIRAN RAKYAT, 24 OKTOBER 2004.

 

0 komentar:

Posting Komentar

newer post older post Home