Selasa, 04 Desember 2012

RUFAIDAH BINTI SA’AD

0 komentar

Oleh Indah Wulandari

Perawat Islam Pertama
Sentuhan lembut penuh kemanusiaan menjadi penyemangat para mujahid yang terluka. Masa-masa peperangan di masa Rasulullah SAW tak hanya melahirkan para lelaki Muslim yang tangguh, tapi juga seorang mujahidah andal. Dialah Rufaidah binti Sa’ad. Nama lengkap tokoh ini adalah Rufaidah binti Sa’ad al-Bani Aslam al-khazraj. Pengabdiannya sangat besar saat perang Badar, Uhud, dan Khandaq berkobar. Keahlianya di bidang ilmu keperawatan membuat hatinya terpanggil untuk menjadi sukarelawan bagi korban yang terluka akibat perang.
Dia juga mendirikan rumah sakit lapangan yang amat membantu  para mujahid saat perang. Semangat Rufaidah membuat Rasulullah SAW pun memerintahkan agar para korban yang terluka dirawat oleh Rufaidah.
Keahlian Rufaidah menitis dari sang ayah yang berprofesi sebagai dokter. Sedari kecil dia sering kali membantu merawat orang sakit. Rufaidah yang tinggal di Madinah ini sebenarnya terlahir dari Yathrib. Dia termasuk kaum Anshor, golongan yang pertama kali menganut Islam di Madinah. Di saat kota Madinah berkembang pesat, dia membangun tenda di luar Mesjid Nabawi.
Rufaidah juga melatih beberapa kelompok wanita untuk menjadi perawat. Kelompok ini mengambil peran penting dalam perang Khaibar. Mereka meminta izin kepada Rasulullah SAW untuk ikut di garis belakang pertempuran serta merawat mujahid yang terluka. Tercatat pula dalam sejarah perang Khandaq, Sa’ad bin Ma’adh yang terluka dan tertancap panah di tangannya, dirawat oleh Rufaidah hingga pulih. Momen ini dikenang sebagai awal mula dunia medis dan dunia keperawatan. Tak hanya merawat orang sakit atau terluka, dia juga menaruh perhatian pada kegiatan sosial. Dalam hal ini, dia memberi layanan kesehatan kepada anak yatim dan penderita gangguan jiwa. Layanan ini dilakukan dengan tulus dan penuh pengabdian.

Perawat Profesional
Menurut Profesor Dr Oman Hasan Kasule Sr dalam karya tulisnya yang dipersentasikan dalam sebuah forum ilmiah di Brunei Darussalam, November 1998 silam, Rufaidah adalah perawat profesional pertama di masa sejarah Islam.
Beliau hidup di masa Nabi Muhammad SAW di abad pertama Hijriyah (abad ke-8 Masehi). Kasule menggambarkannya sebagai perawat teladan, baik, dan selalu berempati kepada siapa saja yang sedang kesusahan. Rufaidah juga dikenal sebagai pemimpin, organisator, serta mampu memobilisasi dan memotivasi orang lain.
Berbekal pengalaman klinisnya yang begitu luas, ia tak segan membagi ilmu kepada perawat lain. Lebih lanjut, Kasule mengatakan, Rufaidah tak hanya melaksanakan peran keperawatan dalam aspek klinis, tapi juga melaksanakan peran komunitas dengan berupaya memecahkan masalah sosial yang berpotensi memunculkan berbagai macam penyakit.
“Rufaidah adalah perawat kesehatan masyarakat sekaligus pekerja sosial yang menjadi inspirasi bagi profesi perawat di dunia Islam,” ujar dia.
Rufaidah menurut Kasule, juga seorang pemimpin dan pencetus sekolah keperawatan pertama di dunia Islam. Dia juga merupakan penyokong advokasi mengenai pencegahan penyakit dan pentingnya penyuluhan kesehatan.
Dalam sejarah Islam, tercatat beberapa nama yang bekerja bersama Rufaidah. Sebut saja misalnya ummu Ammara, Aminah binti Qays al-Ghifariyat, Ummu Ayman, Safiyat, Ummu Sulaiman, dan Hindun. Di masa sesudah Rufaidah, ada pula beberapa perawat muslim yang terkenal sebagai perawat, di antaranya Ku’ayibat, Aminah binti Qays al-Ghifariyat, Ummu Atiyah al-Anshariyat, Nusaibat binti Ka’ab al-Maziniyat, dan Zainab. Nama yang disebut paling akhir adalah ahli dalam penyakit dan bedah mata.

Sumber Republika (Dialog Jum’at), Jum’at 7 Oktober 2011

newer post

MADRASAH

0 komentar
Madrasah didirikan sebagai tempatb belajar-mengajar ilmu-ilmu Islam. Pada abad ke-10 dan 11, madrasah dimaksudkan terutama untuk mengajarkan ilmu-ilmu keislaman termasuk ilmu fiqih, filasafat, dan sastra. Namun kini, fungsi madrasah bersifat mendua. Walau semula dibentuk sebagai lembaga pengajaran pengetahuan Islam pada jenjang yang lebih tinggi –berbeda dengan kuttab dan maktab yang merupakan tempat belajar anak-anak di Timur Tengah—istilah madrasah kini lazim digunakan untuk menyebut sekolah dasar ilmu Alquran.
Sebelum ada madrasah, lembaga pendidikan yang pertama kali dikenal dalam sejarah Islam adalah mesjid. Ada istilah mesjid jami’ (mesjid besar) yang memiliki beberapa lingkaran studi (halaqah), seperti dar, bait, dan khizanah. Ketiganya merupakan istilah yang sering digunakan untuk menyebut perpustakaan. Institusi lain yang mirip dengan madrasah adalah ribath, khangah, zawiyah, turbah, dan duwairah. Seluruhnya merupakan model sekolah keagamaan pada abad pertengahan.
Awalnya, proses belajar-mengajar di madrasah dikaitkan dengan mesjid. Tahap berikutnya, sistem khangah mesjid berkembang menjadi penginapan para santri. Tahap terakhir adalah pembentukan madrasah sebagai institusi yang berdiri sendiri. Sebuah madrasah merupakan bangunan yang digunakan untuk belajar sekaligus tempat tinggal para guru dan murid. Biasanya, perpustakaan dibangun berdekatan dengan madrasah.
Untuk operasionalnya, madrasah memperoleh subsidi dari sumber-sumber pendapatan yang permanen, seperti hasil sewa tanah di perkotaan dalam bentuk wakaf. Dalam rentang waktu yang cukup panjang, terdapat  tumpang tindih antara fungsi mesjid dan madrasah. Mesjid-mesjid tradisional tetap menjadi tempat belajar meski banyak madrasah telah didirikan.
Sedangkan, istilah madrasah juga berarti ruangan di dalam mesjid yang dipergunakan untuk belajar mengajar. Di Makkah misalnya, madrasah dibangun disamping mesjid-mesjid besar.
Di kalangan muslim-muslim India,madrasah-madrasah didirikan untuk pendidikan tingkat tinggi yang menghasilkan pegawai negeri dan pegawai kehakiman. Sementara di Indonesia, membicarakan madrasah berarti harus menyebut pula pondok pesantren, sebuah sistem pendidikan yang umumnya menyebar di Malaysia, khususnya di daerah Kedah dan Kelantan, juga di Thailand Selatan.
Kata pondok berasal dari bahasa arab, funduq, yang berarti penginapan. Sedangkan pesantren berasal dari kata santri yang berarti murid agama. Para santri tinggal di asrama-asrama pondok, memasak makanan dan mencuci pakaian mereka sendiri. Ada pesantren yang santrinya khusus perempuan atau laki-laki. Ada pula pesantren yang muridnya terdiri atas laki-laki dan perempuan, namun tempatnya dipisah.
Di pesantren, terdapat guru utama yang dikenal dengan sebutan kyai. Para kyai inilah yang memainkan peranan penting dalam perkembangan dunia pesantren di Indonesia. Biasanya, pesantren mengalami kemunduran bila kyainya wafat.
Di Singapura, terdapat puluhan sekolah Islam dan madrasah. Sejak 1971, sekolah ini mengajarkan matematika, sains, dan bahasa Inggris. Para murid pun diperbolehkan mengambil ujian yang sama dengan siswa-siswa yang berasal dari sekolah umum.
Madrasah-madrasah ini memiliki hubungan dengan Timur Tengah dan keberhasilan murid-murid mereka diukur dari diterima atau tidaknya mereka belajar di Universitas Al-Azhar, Kairo, atau lembaga pendidikan lainya di Timur Tengah.
Madrasah atau pondok pesantren juga ada di Thailand. Saat ini, pondok-pondok pesantren di sana ada di bawah kendali negara. Campur tangan pemerintah yang makin jauh terhadap kurikulum pesantren justru mendorong para santri belajar ke negara-negara Timur Tengah. Merekalah yang kemudian menjadi perantara masuknya pengaruh Islam dari luar ke Thailand. ▪ ed: wachidah handasah

Sumber: Republika (Dialog Umat), Jum’at, 7 Oktober 2011
newer post
newer post older post Home