Oleh GODI SUWARNA
SEBUAH kentongan
kahot tersandar begitu santai di depan
tabel
alias pos ronda kampung kami. Si Uyut, begitulah kami menyebut
kentongan itu. Olot Onah, orang tertua di kampung kami, tidak bisa
mengatakan dengan pasti tahun berapa si Uyut dilahirkan ke dunia. Si
Uyut ini berukuran sangat besar, kira-kira tiga
deupa, dengan lingkar tengahnya sepelukan orang dewasa, terbuat dari
galeuh nangka yang sangat kuat dan tahan rayap. Semakin tahun, Beliau semakin serupa dengan
raja manten yang telah kehilangan
dangiang-nya, tampak selalu lesu meskipun tubuhnya tetap mengkilap.
Pada masa-masa jayanya, si Uyut adalah kentongan kebanggaan kami. Suaranya yang sangat keras dan
agem tidak tertandingi oleh kentongan manapun juga di desa kami. Tidak sembarang orang boleh
nabeuh
si Uyut. Hanya lurah, aparat desa, dan para peronda sajalah yang
diperkenankan. Dengan beragam cara menabuhnya, yang masing-masing
memiliki maksudnya sendiri-sendiri, si Uyut adalah satu-satunya penyebar
berita penting untuk segenap warga kampung, bahkan
kaemper-emper juga jauh ke kampung-kampung
patarenggang di desa kami yang terpencil.
Di
masa lalunya itu, entah sudah berapa kematian, kebakaran, longsor,
banjir, gangguan keamanan, dan lain-lainnya lagi, yang telah diberitakan
si Uyut. Belum lagi tugas rutinnya sebagai penanda waktu di senyap
malam, berhubung tidak semua warga kampung memiliki jam tangan, weker,
apalagi jam dinding. Juga kabar bencana bagi peronda, bila si Uyut
dikurilingkeun. Artinya, aparat desa memanggil peronda yang belum hadir di
tabel. Dampratan, lari keliling kampung, atau direndam di kolam adalah hukuman bagi peronda ynag mangkir dari tugasnya.
Konon,
menurut kisah orang tua kami, si Uyut ini pernah berpindah tempat pada
zaman revolusi, digotong beramai-ramai ke puncak bukit di ujung kampong,
para pejuang biasa mempergunakan si Uyut untuk kepentingan mereka,
menerima dan menyampaikan lagi berita berangkai. Hanya satu dua jenis
pukulan saja yang dipahami oleh warga kampung, diantaranya adalah
uaran bagi penduduk agar segera mengumpulkan nasi dan lauk-pauknya untuk para pejuang empat-lima itu yang konon selalu teramat gembul.
Bila si Uyut
dititirkeun, itulah pertanda gawat darurat, bahwa pasukan
Walanda
sedang melongok-longok di sekitar desa kami. Lantas, segenap warga
kampung pun terpontang-panting, terkadang bersama para pejuang
bersembunyi di hutan
hulucai yang angker.
Dengan dikawal
oleh orang bersenjata, niscaya tentramlah batin penduduk di tempat
persembunyiannya itu. Dan, apabila si Uyut telah mengumandangkan
pertanda aman, warga kampung beserta para pejuang berbondong-bondong
keluar dari tempat persembunyiannya, serupa sepasukan balatentara yang
telah memenangkan sebuah peperangan besar.
…
PADA zaman
gerombolan, banyak nian jasa si
Uyut yang dirasakan oleh warga kampung kami. Hingga pada suatu malam,
ketika si Uyut mengumandangkan pertanda aman, berduyun-duyunlah warga
kampung keluar dari persembunyiannya dengan gembolan barang-barang
berharganya. Sial dangkal, ternyata malam itu si Uyut dipukul oleh
gerombolan yang teramat paham bahasa kentongan. Apa boleh buat, seluruh
warga kampung serupa ikan masuk bubu, terpaksa menyerahkan barang-barang
bawaannya. Maka, sejak saat itu,
panakol si Uyut selalu
dipusti-pusti serupa benda keramat, dan tabuhan pertanda aman selalu diganti-ganti sesuai kesepakatan.
Tatkala
sepeker akhirnya masuk kampung juga, seiring
baranang listrik di seantero pelosok desa. Maka, sedikit demi sedikit si Uyut pun kehilangan
dangiang-nya.
Sepeker
yang semula dimaksudkan untuk memperkeras suara azan di masjid,
akhirnya dimanfaatkan pula untuk menyampaikan segala macam berita.
Berita-berita penting untuk keperluan umum atau kabar pribadi sejenis “
Mang Udin diantos ku Bi Ijah di Warung Jambu” disebarkan oleh
sepeker dengan lebih jelas dan keras.
Meskipun pada akhirnya Pak Kyai membatasi penggunaan
sepeker
dengan seketat-ketatnya, namun sebagian besar wibawa si Uyut telah
terrenggut dan beralih pada benda canggih itu. Suara si Uyut yang
dititirkeun hanya menjadi latar suasana ketir saja ketika
sepeker
mengabarkan berita kematian atau bencana. Berakhirlah tugas rutin si
Uyut sebagai penanda waktu, lantaran inipun diambil alih oleh
sepeker. Juga jam tangan, weker, malah jam dinding bukan lagi barang langka.
Dina hiji mangsa,
anak-anak muda di kampung kami menemukan keasyikan tersendiri dengan
sejenis barang baru yang disebut interkom. Inilah alat penerima atau
penyebar berita yang lebih canggih ketimbang
sepeker, apalagi
si Uyut yang semakin terpuruk lesu. Pada zaman interkom inilah kampung
kami berhiaskan rentangan kabel telanjang, menghubungkan rumah demi
rumah, kampung demi kampung, bahkan merentang jauh ke desa-desa
tetengga.
Siang-malam, anak-anak muda bergunjing tiada henti lewat benda yang kabelnya
pakuranteng itu. Mungkin karena terlalu sering
kasetrum,
muda-mudi menjadi aneh tingkahnya. Kadang-kadang mereka lama
menghilang. Kampung menjadi sepi. Lalu, tiba-tiba bergerombol di depan
tabel,
bertengkar habis-habisan karena berebut jalur atau apa, tak jarang
diakhiri dengan pergulatan seru. Si Uyut pun pasti terkaget-kaget
dibuatnya. Apalagi, konon, banyak perceraian dan
kawin gurudug gara-gara barang yang mungkin saja bertegangan tinggi itu.
…
TAHUN berganti, zaman interkom lewatlah sudah. Lantas, si Uyut pun menjadi saksi nan bisu manakala anak-anak muda entragan baru yang sering nangkring serta bergunjing di tabel mulai asik dengan sejenis mainan baru, HP!
Pasti si Uyut bertanya-tanya, apa yang terjadi dengan anak-anak muda itu. Lantaran tabel yang semula riuh rendah oleh perbincangan tentang keajaiban cocooan baru itu bisa tiba-tiba menjadi sepi bak ditengah astana geledegan
ketika mereka asyik sendiri-sendiri, melakukan kegiatan senam jempol,
mengirim SMS entah kepada siapa, dan entah untuk urusan apa. Dan, bila
pulsa licin tandas, banyak juga yang lantas murang-maring di rumahnya masing-masing, lebih garang daripada bagong yang paling garong.
Perkara HP ini sempat juga membuat kami ngembang kadu ketika menonton pergelaran wayang golek di halaman baledesa. Saat Ki Dalang sedang sibuk-sibuknya ngocoblak, ternyata tiga orang Nyai Sinden malah asyik bersenam jempol, memijit-mijit HP-nya masing-masing ber-SMS ria.
Akhirnya,
pada suatu hari yang tak terlupakan, terjadilah keributan luar biasa di
kampong kami. Si Uyut raib tak tentu rimba! Semula, kami tidak begitu
sadar akan kehilangan ini, karena nyaris tiada lagi orang yang
memperhatikan Beliau. Setelah Olot Onah, orang tertua di kampung kami, walahwah-weuleuhweuh
bagai orang kesurupan, barulah kami sejadi-jadinya ribut. Kapan,
kenapa, dan kemana si Uyut pergi, itulah yang membuat kami bingung bukan
kepalang.
Berbagai komentar segera saling bersilang. Ada yang
berpendapat bahwa si Uyut dicuri oleh supir truk, kenek, dan beberapa
orang kawannya, yang mobilnya mogok di depan tabel tiga malam yang lalu. Ada juga yang teramat yakin bahwa Beliau ngahiang, karena malam sebelumnya terlihat seberkas sinar benderang yang melesat dari bubungan tabel. Sedangkan bisik-bisik menyatakan, si Uyut telah dijual oleh anak-anak muda yang paling badeur di kampung kami, hasilnya dipergunakan untuk membeli pulsa. Tak pernah jelas.
Sejak kejadian itu, beberapa orang tua di kampung kami selalu tampak murung, linglung, dan bingung!***
TAMAT
Diambil dari HARIAN UMUM PIKIRAN RAKYAT, 24 OKTOBER 2004.